Siapa sangka, dari sebuah skatepark kecil di salah satu sudut Taman
Lalu Lintas Bandung (Taman Ade Irma Suyani), di awal tahun 1990-an,
menjadi tempat bersejarah yang melatar belakangi perkembangan fashion
anak muda Bandung dalam satu dekade terakhir ini. Skateboard kemudian
menjadi benang merah yang menjadi ciri dan eksplorasi fashion dan
lifestyle yang dielaborasi oleh para pelakunya dan membentuk gaya anak
muda Bandung hingga saat ini.
Pertemuan di Taman Lalu Lintas membuat Didit atau dikenal dengan nama
Dxxxt, Helvi dan Richard Mutter (mantan drumer Pas Band), kemudian
bersepakat mengelola sebuah ruang bersama di Jalan Sukasenang Bandung.
Ruang ini kemudian dikenal sebagai cikal bakal yang munculnya bisnis
clothing lokal untuk anak muda di Bandung. “Cari nama dit, si helvi
bilang gitu..waktu itu lagi ngomong-ngomong soal Cihampelas,” Dxxxt
mengawali ceritanya ketika saya bertanya darimana nama Reverse berasal.
“Kenapa ya, si Cihampelas itu ngga bikin produk-produk dengan
merek-merek sendiri, kenapa mereka bikin mereknya reply lah, armani
lah.. kenapa ga bikin sendiri, reverse misalnya.. trus Helvi bilang nama
itu bagus. Ya udah akhirnya dipakai buat nama toko.” Tahun 1994, mereka
membangun studio musik dan toko yang menjual CD, kaset poster, T-shirt,
majalah, poster dan asesoris band yang diimport langsung dari luar
negeri. Pilihan yang spesifik, membuat barang yang dijual di Reverse,
tak bisa didapatkan di toko-toko lain di Bandung pada saat itu.
Reverse pada saat itu menjadi tempat
berkumpulnya komunitas-komunitas dari scene yang berbeda. Punk,
hardcore, pop, surf, bmx, skateboard, rock, grunge, semua bisa bertemu
di tempat itu. PAS dan Puppen adalah beberapa band yang sempat
dibesarkan oleh komunitas Reverse. Richard sendiri sempat membentuk
record label independen 40.1.2.4 yang rilisan pertamanya berupa album
kompilasi “Masaindahbangetsekalipisan”, pada tahun 1997. Band-band yang
ikut dalam rilisan itu diantaranya Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To
The Core, Full of Hate dan Waiting Room sebagai band satu-satunya dari
Jakarta yang masuk dalam kompilasi ini.
Saat krisis ekonomi terjadi pada tahun 1998, bisnis yang dijalani
Reverse, mengalami masa sulit sampai akhirnya tutup. Mereka tak mampu
lagi membeli barang-barang dari luar negeri kerena nilai dolar terhadap
rupiah melambung tinggi dan tak terjangkau. Namun kondisi sulit ini
justru melahirkan fase baru dalam perkembangan industri clothing
Bandung. Helvi vetaran Reverse, kemudian membangun clothing label
bernama Airplane yang memulai usahanya pada tahun 1997. Bukan hanya itu,
bersama Dxxxt dan Marin, Helvi membangun record label bernama Fast
Foward pada tahun 1999.
Airplane yang didirikannya bersama dua rekannya yang lain: Fiki dan
Colay, resmi berdiri pada tanggal 8 Februari 1998. “Awalnya sih kita
udah ngga mampu lagi beli barang-barang impor karena mahal dan krisis
moneter. Waktu itu kita mikir, kita bikin apa ya? Soalnya kalau beli,
ngga ada yang cocok, pengen kaos yang kaya gini ngga ada.. yang gitu
ngga ada.. awalnya dari situ, ya udah kita bikin sendiri deh yang pasti
dengan background masing-masing. Semua dipengaruhi oleh kehidupan
sehari-hari yang kita senangi aja.. biasanya dari skateboard, trus kita
juga main musik, trus itu mempengaruhi ke grafis desain clothing itu
sendiri. Jadi emang akhirnya macam-macam.” Jelas Helvi ketika saya temui
di kantor Airplane di jalan Titiran Bandung.
Transformasi Reverse sebagai clothing company, dimotori oleh Dxxxt pada
bulan Februari 2004. Didukung oleh Marin, Wendi Suherman dan Indra Gatot
sebagai mitra usahanya. Reverse kemudian menjelma menjadi label yang
memfokuskan dirinya pada fashion untuk pria. Urban culture yang menjadi
keseharian tim kreatifnya, menjadi inspirasi dalam desain produk-produk
Reverse.
Sementara kegemaran skateboard, bmx dan surfing yang ditekuni Dandhy dan
teman-temannya, justru memotivasi mereka untuk membuat produk-produk
yang mendukung hobi yang mereka cintai. Bukan hal yang mudah untuk
menemukan fashion penunjang kegiatan surfing di Bandung pada saat itu.
Maka tahun 1996, dari rumah di dago 347 Bandung, mereka mulai
memproduksi barang-barang yang menunjang hobi mereka untuk digunakan
sendiri. Ternyata apa yang mereka pakai, menarik perhatian teman-teman
mereka. Seperti halnya Airplane, dengan modal patungan seadanya mereka
mulai memproduksi barang-barang yang mereka desain untuk kebutuhan hobi
mereka itu, untuk dijual di kalangan teman-teman mereka sendiri dengan
label ‘347 boardrider co.’ Toko pertamanya dibuka pada tahun 1999 dan
diberi nama ‘347 Shophouse’ di Jalan Trunojoyo Bandung. Demikian pula
Ouval yang muncul di tahun 1998. Awalnya juga dibentuk dengan semangat
untuk mengelaborasi hobi skateboard para pendirinya.
Hobi dan semangat kolektivisme terasa sangat kuat mewarnai kemunculan
clothing label dan clothing store pada masa itu. Masih di tahun 1996,
Dadan Ketu bersama delapan orang temannya yang lain membentuk sebuah
kolektif yang diberi nama Riotic. Kesamaan minat akan ideologi punk,
menyatukan ia dan teman-temannya. Riotic menjadi label kolektif yang
memproduksi sendiri rilisan musik-musik yang dimainkan oleh komunitas
mereka, menerbitkan zines, dan membuka sebuah toko kecil yang menjadi
distribusi outlet produk kolektif yang mereka hasilkan. Riotic juga
dikenal konsisten dalam mendukung pertunjukan-pertunjukan musik punk
rock dan underground yang saat itu kerap diselenggarakan di Gelora
Saparua Bandung.
Generasi Global
Saat saya menceritakan apa yang dilakukan anak-anak muda Bandung
dengan industri clothingnya, pada teman saya, seorang penulis buku
“Lubang Hitam Kebudayaan”_ sebuah buku yang mencermati perkembangan
budaya massa di Indonesia sampai fase reformasi 1998_Hikmat Budiman, dia
berkomentar “Anak Bandung itu jago menyerap desain ‘arsitektur’ global,
dibanding dengan anak muda di kota lain. apa yang terjadi di tingkat
global, bisa diterjemahkan dan disiasati oleh mereka dan dijadikan
komoditas gaya hidup baru dan menjadi trend. Mereka mendefinisikan
kembali coolness yang sesuai dengan konteks mereka. selain itu juga ada
pasar yang menyerap komoditas baru itu.”
Jika dicermati lebih jauh, apa yang terjadi di bandung pada dekade 90an,
memang tak bisa lepas dari kecenderungan global pada saat itu. Musik
dan gaya hidup, sebagai dua hal yang tak terpisahkan, memberi pengaruh
sangat besar dalam perkembangan fashion anak muda Bandung. Sejak
generasi Aktuil di tahun 70’an, Bandung dikenal sangat adaptif pada
perkembangan musik dunia. Ketika merunut aliran musik apa saja yang
berkembang dalam dekade 90’an, kita bisa melihat bagaimana perkembangan
musik itu mempengaruhi eksplorasi anak muda Bandung di bidang fashion.
Grunge, yang dipengaruhi oleh punk, muncul di awal tahun 90’an. Sepatu
Doc Martens, Converse high top sneaker dan kemeja flanel yang menjadi
trend fashion sampai pertengahan tahun 90. Pada kenyataan flanel di
gunakan para musisi beraliran grunge ini karena murah dan hangat. Saat
grunge kemudian digantikan oleh musik alternatif di pertengahan 90’an
dan Nu-Metal yang dimotori oleh Korn sampai menjelang akhir 1990,
fashion ini masih terbawa. Hip hop yang banyak digemari para
skateboarders dan mempengaruhi perkembangan musik R&B memberi warna
lain pada dekade itu. Scene hardcore atau scenecore atau disebut juga
emo dan gaya yang dibawa aliran musik pop punk yang dipengaruhi membawa
trend fashion yang bersilangan diantara keduanya dan dipengaruhi oleh
gelombang ketiga pop punk yang dipelopori oleh Green Day, Good Charlote,
Simple Plan.
Extreme sport (diantaranya skateboarding dan surfing), mencapai
popularitasnya di tahun 1995. ESPN sebagai saluran extreme sport dan
hanya dapat ditonton melalui antena parabola, menjadi salah satu rujukan
para skateboarder Bandung pada saat itu. Rujukan lain seperti majalah
Thrasher, yang mencitrakan skateboarding sebagai olah raga yang didasari
oleh semangat pemberontakan dan akrab dengan ideologi punk, sementara
Transworld Skateboarding terasa lebih moderen, beragam dan menjaga citra
para bintang skateboarding. Termasuk juga masuknya MTV ke Indonesia
yang memperkenalkan lifestyle baru dengan jargon-jargonnya: ‘MTV beda’,
‘MTV Gue Banget’. Perbedaan menjadi komoditas yang dirayakan
bersama-sama.
Ketika awal 90’an, fashion skateboarding dunia dipengaruhi oleh
perkembangan street skateboarding yang sangat kental nuansa punk
rocknya. Baggy dengan oversize denim dan t-shirt extra large menjadi
trend pada saat itu. Sementara pertengahan sampai akhir tahun 1990an,
trend fashion dalam dunia skateboarding berubah lebih ‘ramping’. Ukuran
jeans dan T-shirt, menjadi lebih pas di badan. Bahkan beberapa
skateboarder menggunakan jeans dan t-shirt ekstra ketat. Perubahan ini
membuat gaya fashion dalam dunia skateboarding terbagi menjadi dua
kategori: “punk” (ketat dan ngepas badan) dan “baggy” meski pada
prakteknya pembagian itu menjadi sedikit lebih rumit. Celana shagging
jeans atau baggy, sweater dari bahan katun atau poliester dengan pull
over dan kantong kangguru di depannya atau disebut juga hoodie, baseball
caps, dan sepatu vans. Gaya skate punk inilah yang kemudian banyak
dieksplorasi dalam desain clothing anak-anak muda Bandung. Majalah
katalog seperti Suave, yang terbit di Bandung dengan jelas
memperlihatkan pengaruh itu. Pada akhir 90’an apa yang disebut “punk
style clothing” menjadi tagline baru dalam perkembangan industri
clothing global. Gaya punk kemudian menjadi sesuatu yang mainstream,
mendunia dan menjadi mapan.
“Kita emang banyak dipengaruhi oleh musik yang kita sukai, dari
label-label skateboard yang kita pakai dulunya, karena kita besarnya,
growing upnya di situ. Karena musik ini kan sangat terkait dengan
fashion,” Helvi yang juga creative director Airplane, mengakui hal itu.
Pendapat helvi diperkuat Arian tigabelas, mantan vokalis Puppen dan kini
menjadi vokalis band Seringai “Ada fenomena yang menarik ceuk urang
mah, dulu Bandung terkenal dengan band-band yang keren-keren tapi waktu
berlalu dan rupanya band nggak terlalu menghasilkan/menghidupi, dan kini
para pelaku band tersebut pindah ke clothing. Jadinya terus terang band
Bandung yang punya nama ‘gede’ sekarang udah ngga signifikan. Tapi
clothing jadi industri yang lebih jelas bisa menghidupi iya, karena main
band ternyata tetap kere sementara realitanya musti punya modal hidup.”
Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dalam dekade 90’an,
menjadi faktor penting dalam proses yang disebut Hikmat Budiman sebagai
penyerapan desain arsitektur global. Ketika tahun 1995 bisnis Internet
Service Provider (ISP) mulai berkembang di Jakarta, menurut catatan
Kompas, Bandung menjadi salah satu dari tiga kota pengguna jasa internet
terbesar. Jika saat itu tercatat di ada sekitar 14 ribu pemakai
internet di Indonesia, Bandung menjadi kota pengguna internet terbesar
ketiga (1.000 pengguna), setelah Jakarta (10.000 pengguna) dan Surabaya
(3.000 pengguna). Bagaimana kemudian perkembangan teknologi informasi
ini diserap dalam waktu yang hampir bersamaan di Bandung. Belanja online
yang dilakukan Reverse untuk memperoleh produk-produk import yang
mereka jual kembali di Bandung. Juga yang dilakukan Anonim yang muncul
tahun 1999, mengikuti jejak pendahulunya dengan menjual t-shirt import
merchandise band yang dipesannya melalui internet.
Dalam perkembangannya, eksplorasi desain clothing anak-anak muda
Bandung, banyak juga dipengaruhi oleh gaya street fashion Jepang yang
terasa lebih eklektik dan eksperimental. Majalah Trolley (alm
2001-2003), sempat menerbitkan suplemen khusus mengenai gaya street
fashion Jepang ini dalam salah satu edisinya.
Pergeseran kiblat kreatif global dari Amerika ke Inggris/Eropa dalam
tiga tahun terakhir ini, juga terasa pengaruhnya. Perubahannya sangat
jelas terasa dalam scene musik. Street culture Inggris dan Eropa
kemudian menjadi sumber rujukan baru dalam mengelaborasi desain
produk-produk clothing kemudian. Tahun 2006 ini, Fast Foward record,
telah dua kali mendatangkan grup musik dari Eropa untuk pentas di
Bandung_King of Convinience (Norwegia) dan Edson (Swedia).
Ketika masa kekuasaan Orde Baru berakhir, kehidupan sosial politik
Indonesia mengalami banyak perubahan di era reformasi. Warga Bandung
memperlihatkan pola relasi yang baru dengan ruang-ruang publik yang ada
di kota Bandung. Beragam aktivitas dan perayaan dilakukan di jalan.
Jalanan seperti Dago, menjadi catwalk publik yang mengundang siapa pun
yang datang untuk menampilkan gaya dandanan mereka. Individu kemudian
mendapat ruang untuk mengekspresikan diri. Saat itu, banyak
pertunjukan-pertunjukan musik yang kemudian disponsori oleh clothing
company yang mulai memiliki kemampuan ekonomi.
Selain karena minat pada musik yang mereka sponsori, acara-acara seperti
itu kemudian menjadi salah satu strategi bersama untuk mempromosikan
merek produk-produk clothing yang mereka buat. Monik, Celtic dan
Popcycle management, dikenal secara berkala menyelenggarakan konser La
Viola bekerjasama dengan pusat Kebudayaan perancis (CCF) bandung. Marin,
selain menjadi salah satu pemilik Monik, Celtic, Fast Foward, Reverse
clothing Company, juga memiliki TRL bar di Jalan Braga. dari bar kecil
itu pula, eksplorasi musik elektronik yang banyak mewarnai perkembangan
musik global beberapa tahun terakhir ini, banyak dilakukan. Salah satu
pilihannya adalah sekolah Drum n Bass yang dimotori oleh DJ xonad, jenis
electronic dance music ini berkembang di Inggris pada dekade 90’an dan
semakin dikenal pada awal tahun 2000 serta berkembang di beberapa negara
Eropa dalam dua tahun terakhir ini.
“Karena Bandung kotanya kecil, jadi mau ngapa-ngapain gampang… lagian
orang-orangnya kekeluargaan, cair banget, babaturanlah, semua dianggap
sama,” Ujar Dede anonim, seperti saya kutip dari tulisan Gustaff H.
Iskandar, ‘Fuck You! We’re from Bandung. Kondisi inil, masih menurut
Gustaff, membawa berkah istimewa bagi perkembangan musik dan juga street
fashion di Bandung. Dan mendorong pertumbuhan clothing store (distro)
di Bandung.
Sejumlah Persoalan
Di masa boom clothing store 2003 lalu, Kompas pernah menulis: “Adapun
untuk membuka sebuah distro, hanya dibutuhkan modal “nekat”. cukup
menyediakan sebuah ruangan kecil, misalnya mengambil salah satu sudut
rumah seperti garasi. Lalu barang-barangnya bisa digunakan sistem jual
titip, dengan menerima titipan barang dari berbagai clothing company.
Bila barang-barang titipan itu laku terjual, barulah disisihkan
keuntungan untuk si distro (clothing store).”
Namun pada prosesnya tidak sesederhana itu. Modal nekat saja tidak
cukup. Bagaimanapun bisnis yang dilatari oleh hobi dan kesenangan pun
mengandung bermacam resiko. Benturan kepentingan yang mempertentangkan
antara bisnis dan idealisme, menyeruak sebagai sebuah konsekuensi yang
harus dihadapi dan disiasati.
“Saya bukan orang bisnis tadinya, akhirnya saya harus belajar bisnis,
kasihan guanya gitu..” Seloroh Dandhy dalam sebuah Gathering Komunitas
Kreatif di Bandung, bulan April lalu. “Gua ngerasa banyak hambatan dalam
kreativitas karena banyak kepentok,” meski ucapan Dandy itu bernada
main-main, namun pada prakteknya, keseriusan dalam mengelola bisnis ini
memang menjadi proses adaptasi yang berat. Beberapa Clothing yang sudah
cukup kuat seperti Airplane dan 347/eat, sengaja menyewa konsultan
manajemen dan bisnis untuk memberi masukan dalam pengembangkan usaha
mereka. Fiki manajer bisnis sekaligus salah satu pendiri Airplane
mengaku, saran-saran bisnis dari konsultan profesional tidak seluruhnya
bisa di terapkan. “Tetap aja, kita harus nemuin cara yang paling sesuai
dan enak buat kita jalani. Ngga bisa sepenuhnya berdasarkan teori
manajemen.” Hal serupa juga dirasakan Dandhy. Konsultan bisnis yang
mengawasi kinerja dirinya dan teman-temannya, malah membuat mereka
bekerja dalam suasana yang tidak nyaman. Akhirnya Dandhy memilih
mengembalikan suasana kerja yang nyaman, meskipun itu berarti tanpa
konsultan bisnis.
Fiki, menjelaskan, untuk membesarkan bisnis yang semula dibangun
berdasarkan hobi, butuh kedisiplinan tinggi dalam mengelolanya. “Gua
ngejalanin Airplane ini bener-bener disiplin. Kita muterin duit yang ada
dan disiplin untuk ngejalanin itu. Dan ngga pernah ada suntikan dana
lagi sejak dana awal. Airplane bediri udah sejak tahun 1997, tapi
bener-bener ngejalanin bisnisnya sejak buka toko, tahun 2001. Sejak
September 2001, waktu itu kita mulai dengan uang kurang dari 10 juta
untuk sewa tempat dan kita udah punya omset yang lumayan, tapi kalau ada
lebihnya kita simpen dan dipake untuk produksi lagi, nambahin modal.
Karena kita punya sedikit pengetahuan tentang administrasi juga, makanya
bisa tertib administrasi dan itu kerasa banget gunanya.”
Namun tidak semua clothing company memiliki kemampuan untuk membayar
konsultan bisnis atau melakukan pembagian kerja yang jelas. Bagi
clothing company yang muncul belakangan, idealisme dan keterbatasan
modal menjadi tantangan yang harus disiasati lebih keras lagi. Karena
secara bisnis, mereka harus berhadapan dengan clothing teman-temannya
yang muncul dan mapan lebih dulu.
Dari segi pengembangan desain, tidak banyak juga yang melakukan riset
dan pengembangan desain secara serius. Akibat dari boom clothing di
tahun 2003, follower yang muncul belakangan, banyak yang asal jiplak
desain-desain yang sudah ada. Karena untuk membangun sebuah karakter
desain yang kuat dibutuhkan waktu dan proses yang lama. Menanggapi
kekawatiran desainnya dijiplak, baik Helvi maupun Dandhy, justru tidak
merasa kawatir. Bagi Helvi, kondisi seperti itu, malah membuat ia lebih
fokus lagi menemukan karakter desain Airplane. Begitu pula Dandhy, jika
imagenya sudah kuat, tak perlu kawatir dengan para peniru. Keseriusan
dalam soal desain dan visual inilah yang kemudian membedakan dan menjadi
ciri antara clothing satu dengan yang lain.
United we stand
Waktu menunjukan hampir tengah hari. Cuaca begitu cerah. Ruang tengah
Jalan Kyai Gede Utama 8 Bandung, terasa guyup, menggantikan kelengangan
yang biasa terasa. Sekelompok anak muda duduk-duduk santai di
bangku-bangku kayu, di taman terbuka. Wajah-wajah lama, generasi pertama
clothing Bandung paska 1995, bercampur dengan wajah-wajah baru generasi
pengikutnya. Bukan hal yang mudah, mengumpulkan mereka dalam satu
waktu. Riuh suara canda dan tawa, bercampur kicauan burung-burung yang
sejak lama menghuni pepohonan di sekitarnya. “Sekarang kita mau jadi
seperti apa? Arahnya apakah asosiasi yang dijalankan dengan praktek
mafia? Atau gimana? Apakah kita bikin asosiasi untuk bikin counter yang
menjegal praktek kartel? Atau asosiasi ini hanya mengakomodasi
kepentingan dan ideologi yang sama, dan menghancurkan lawan yang berbeda
pandangan? Atau tujuannya sosial atau kemanusiaan.” Dandhy pemilik
clothing 347/eat, melemparkan pertanyaan itu ke forum. Perdebatan
panjang tiga puluh orang yang hadir disitu pun dimulai. Canda tawa,
berubah serius. Masing-masing sibuk memikirkan jawaban dan saling
beragumen sampai berjam-jam kemudian. Saya hadir disitu, mencatat waktu.
Hari itu, Senin, 12 Juni 2006. Hari dimana asosiasi para pengusaha
clothing yang dinamai ‘Forum Komunikasi Pengusaha Clothing Bandung’, di
deklarasikan.
Bagi saya, ini memang sudah waktunya, ketika akhirnya para pengusaha
muda clothing Bandung ini mau bersatu padu membuat Forum Komukasi. Hal
ini bukannya tanpa sebab. Mereka yang selama ini tak terpetakan sebagai
potensi ekonomi, tiba-tiba bukan hanya dilirik, tapi coba dirangkul
pemerintah lewat program bantuan Industri Kecil dan Menengah,
Disperindag. Mengutip apa yang diberitakan Harian Pikiran Rakyat tanggal
8 Juni 2006, Drs. H. Agus Gustiar, M.Si., selaku Kepala Dinas
Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), “Bagaimanapun kekuatan kita
ada pada IKM. Supaya lebih kuat, semua IKM harus bersatu untuk membuat
terobosan baru yang bisa mengangkat Bandung khususnya.” …Agus yakin,
industri distro Bandung memiliki ciri khas tersendiri yang diilhami dari
kreativitas anak muda Bandung.” Jangan sampai ini hilang seperti
beberapa merek Bandung yang sekarang mulai memudar, bahkan tidak dikenal
orang. Padahal ini merupakan potensi Bandung yang harus ditonjolkan.”
Dalam kegiatan Gathering Komunitas Kreatif dan Online conference yang
diselenggarakan selama bulan April-Mei 2006, yang diselenggarakan oleh
Pusat Studi Urban Desain dan Common Room Networks Foundation,
mengidentifikasi persoalan-persoalan eksternal yang dihadapi selama ini.
Masalah-masalah itu muncul, ketika selama ini pemerintah sama sekali
tidak mendukung aktivitas yang mereka lakukan. Tidak adanya regulasi
pemerintah yang jelas dalam pengembangan industri berbasis kreatifitas
seperti yang dilakukan Clothing company selama ini, juga strategi
pengembangan industri berbasis kreatifitas sebagai salah satu
pengembangan ekonomi kota yang berkelanjutan. Belum lagi pengelolaan
pajak yang tak jelas timbal baliknya. Persoalan ketiadaan infrastruktur
dan ketidak jelasan pengaturan tata guna lahan di Bandung untuk kawasan
komersial, menyebabkan nilai ekonomi lahan semakin mahal dan tak
terjangkau dalam mengembangkan usaha yang selama ini mereka jalankan.
Pada akhirnya, dukungan yang digembar-gemborkan pemerintah untuk
mendukung Industri Kecil Menengah dan membangun kecintaan akan produk
dalam negeri, hanya menjadi jargon belaka.
Disadari atau tidak, clothing industry yang muncul dan berkembang di
Bandung ini, justru memicu perkembangan industri-industri kecil baru
yang juga berbasis kreatifitas. Secara organik, infrastruktur
pendukungnya, bermunculan satu persatu. “Waktu itu lagi
booming-boomingnya clothing, trus gue pikir, ngapain juga ikut-ikutan
bikin clothing, mendingan gue bikin usaha lain yang bisa mendukung usaha
mereka. Ada kesadaran itu di gue dan tiga orang teman gue yang lain,
gue ngeliatnya orang-orang ini udah harus profesional lah, kalo mereka
berbisnis ya harus berpromosi, mereka punya produk yang bagus, buat apa
kalo ngga berpromosi,” ungkap Uchunk, salah satu pendiri Suave, Free
Catalogue Magazine, ketika saya temui disebuah tempat nongkrong di
Bandung. Suave awalnya dicetak sebanyak 3000 eks dengan modal sebuah
komputer pribadi. Kini tirasnya mencapai 8000 eks dengan 90 halaman full
color. Selain didesain dengan tampilan yang menurut Uchunk, terlihat
mainstream, jauh dari kesan indie dan underground, Uchunk juga memberi
halaman galeri bagi siapapun yang ingin memamerkan karya grafisnya di
satu halaman Suave.
Menurut uchunk, saat ini banyak clothing company yang kemudian
menggunakan jasa desainer grafis, fotografer dan biro iklan untuk
menggarap materi promosi produk yang bersangkutan. Baginya kondisi ini
sangat menggembirakan, karena bidang industri kreatif lainnya kemudian
bermunculan. Helvi menambahkan, “Waktu kita bikin ini, ngga kepikiran
kalau di depan ternyata akan berhubungan dengan segala macam.
Fotografer, advertising, itu kan seru jadinya. Jadi kaya punya dunia
sendiri, infrastrukturnya jadi kebentuk dan ini adalah wilayahnya anak
muda.”
Wajar saja, jika kemudian tawaran yang datang tiba-tiba ini, disikapi
dengan membentuk Forum Komunikasi yang bertujuan untuk memperkuat dan
saling mendukung satu sama lain. Banyak persoalan baik internal maupun
eksternal yang selama ini harus disiasati dan dipecahkan sendiri oleh
mereka. Karena itu, tawaran pemerintah, seperti sesuatu yang to good to
be true. Mereka bukannya resistan terhadap niat baik pemerintah, namun
yang mereka harapkan adalah kejelasan dalam proses negosiasi dimana
posisi tawar kedua belah pihak bisa berjalan dengan seimbang. Dalam hal
ini mereka memperlihatkan, apa yang disebut Gustaff H. Iskandar dalam
tulisan yang sama, sebagai kemandirian politik dan ekonomi.
Perspektif kemandirian, kemudian menjadi prinsip yang selalu dimaknai
kembali oleh mereka. Ketika kemandirian berarti memulai impian besar
dengan langkah-langkah kecil. Dengan patungan modal seadanya. Juga
ketika usaha ini berkemban dan mendapatkan perhatian, kemandirian
berarti membangun posisi tawar mereka ketika bertarung dengan banyak
kepentingan-kepentingan lain. Pemerintah salah satunya.
***
Dan disaat, banyak orang kemudian mengeluh, bahwa produk clothing
menjadi seragam, waktu yang akan membuktikan mana yang kemudian
konsisten menjalani proses eksplorasi terus menerus untuk menemukan
kematangan produk atau malah inovasi-inovasi baru dan mana yang kemudian
hilang seperti merek-merek Bandung yang memudar dan tak dikenal orang
seperti yang dikawatirkan Agus Gustiar.
Setidaknya sampai hari ini, setelah satu dekade yang panjang mereka
berproses terus menerus, kekawatiran itu tidak terbukti. “Yang paling
keren menurut gua adalah, dimana sekarang anak-anak muda ngga gengsi dan
malu lagi pake produk lokal. Dan kita juga seneng, karya kita dihargai
orang dari mulai yang naik angkot sampai mobil mewah, pake kaos lokal.”
Helvi mengatakan itu dengan mata-mata berbinar-binar lega. Kelegaan yang
saya rasakan bukan hanya miliknya, tapi juga komunitasnya, teman-teman
sepermainannya, ketika kerja keras mereka, membuktikan sesuatu, bukan
sekedar jargon belaka.
mo bikin desain logo untuk clothing kamu klik aja desain logo anakost
Tulisan ini adalah versi pertama untuk PB Magz yang tidak di terbitkan
posted by vitarlenology
Tidak ada komentar:
Posting Komentar